Suatu diskursus pemberdayaan selalu akan dihadapkan pada fenomena ketidakberdayaan sebagai titik tolak dari aktivitas pembedayaan. Ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat telah menjadi bahan diskusi dan wacana akademis dalam beberapa dekade terakhir ini. Di Indonesia, diskursus pemberdayaan semakin menguat berkaitan dengan penguatan demokratisasi dan pemulihan (recovery) krisis ekonomi. Kieffer dalam Edi Suharto (1998:211) mendeskripsikan secara konkrit tentang kelompok mana saja yang mengalami ketidakberdayaan yaitu; “kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu masyarakat seperti masyarakat kelas ekonomi rendah; kelompok miskin, usaha kecil, pedagang kaki lima, etnis minoritas, perempuan, buruh kerah biru, petani kecil, umumnya adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan”.

Keadaan dan perilaku tidak berdaya yang menimpa kelompok tersebut sering dipandang sebagai deviant atau menyimpang, kurang dihargai dan bahkan dicap sebagai orang yang malas dan lemah yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal ketidakberdayaan tersebut merupakan akibat faktor struktural dari adanya kekurangadilan dan faktor kultural berupa diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu.

Menurut Sennet & Cabb (1972) dan Conway (1979) dalam Suharto (1998:209); “ketidakberdayaan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketiadaan jaminan ekonomi, rendahnya akses politik, lemahnya akses informasi dan teknologi, ketiadaan dukungan finansial serta tidak tersedianya pendidikan dan pelatihan”. Para teoritisi seperti Seeman (1985), Seligman (1972), dan Learner (1986) yang dirangkum Suharto meyakini bahwa “ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat merupakan akibat dari proses internalisasi yang dihasilkan dari interaksi mereka dengan masyarakat. Kelompok masyarakat yang kurang berdaya menganggap diri mereka lemah dan tidak berdaya karena masyarakat menganggap demikian”. Seeman menyebutnya dengan alienasi, Seligmen menyebutnya dengan ketidakberdayaan dan Learner mengistilahkan dengan ketidakberdayaan surplus.

Berangkat dari fenomena ketidakberdayaan tersebut, maka muncul berbagai tindakan pemberdayaan dengan berbagai pendekatan mulai dari program yang berkelanjutan sampai pada aktivitas-aktivitas yang sporadis. Pengertian pemberdayaan sendiri menjadi perhatian banyak pihak dari berbagai bidang, disiplin ilmu dan berbagai pendekatan. Menurut Rappaport dalam Suharto (1998:3); “pemberdayaan menunjuk pada usaha realokasi sumber daya melalui pengubahan struktur sosial. Pemberdayaan adalah suatu cara yang diarahkan kepada masyarakat, organisasi atau komunitas agar mampu menguasai (berkuasa atas) kehidupannya”. Torre (1985:18) mengemukakan bahwa pemberdayaan adalah:

“A process through which people become strong enough to participate within, share in the control of, and influence events and institutions affecting their lives, (and that in part) empowerment necessitates that people gain particular skills, knowledge and sufficient power to influence their lives and the live those they care about”.

Jadi tujuan pemberdayaan pada hakekatnya seperti yang dijelaskan Ife (1995:56): “Empowerment aims to increase the power of disadvantage”.

Lebih jauh Torre (1985) dalam Parson (1994:106) menjelaskan tentang dimensi pemberdayaan yang terdiri dari 3 dimensi yaitu:

  1. A development process that begins with individual growth, and possibly culminates in larger scope such as social change.
  2. A psychological state marked by heightened feelings of self-esteem, efficacy and control.
  3. Liberation resulting from a social movement, which begins with education and politization of powerless people and later involves collective attempts by the powerless to gain power and to change those structure that remain oppressive.

Menurut beberapa penulis, seperti Solomon (1976), Rappaport (1981, 1984), Pinderhughes (1983), Swift (1984), Weick, Rapp, Suliva & Kristhardt (1989) didapatkan kesamaan prinsipil dalam pemahaman tentang pemberdayaan yaitu:

  1. a. Empowerment is a collaborative process, with the people and the practitioner working together as a partner.
  2. b. The empowering process views society systems as competent and capable, given access to resources and opportunities.
  3. c. Competence is acquired or refined through life experience, particularly experience affirming efficacy, rather than from circumstances where one is told what to do.
  4. d. Society must perceive them selves as casual agent, able to effect changes.
  5. e. Solution, evolving from the particular situation, are necessarily diverse and emphasize `complexities of multiple contributory factors in any problem situation (Solomon, 1976:27)
  6. f. Informal social networks are a significant sources of support for mediating stress and increasing one`s competence and sense of control.
  7. g. People must participate in their own empowerment; goals, means, and outcomes must be self defined.
  8. h. Level of awareness is a key issue in empowerment; knowledge mobilizes action for change (Swift & Levin, 1987:81)
  9. i. Empowerment involves access to resources and the capacity to use those resources in an effective way.
  10. j. The empowerment process is dynamic, synergistic, ever changing, and evolutionary; problems always have multiple solution.
  11. Empowerment is achieve through the parallel structure of personal and socioeconomic development”. (Du Bois & Miley, 1992:212)

Menurut Ife (1995:61-64), pemberdayaan memuat dua pengertian kunci yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuatan politik namun mempunyai arti luas yang merupakan penguasaan masyarakat atas:

  1. Power over personal choices and life chances. Kekuasaan atas pilihan-pilhan personal dan kesempatan-kesempatan hidup, kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai pilihan hidup, tempat tinggal dan pekerjaan dan sebagainya.
  2. Power over the definition of need. Kekuasaan atas pendefinisian kebutuhan, kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginan.
  3. Power over ideas. Kekuasaan atas ide atau gagasan, kemampuan mengekspersikan dan menyumbang gagasan dalam interaksi, forum dan diskusi secara bebas dan tanpa tekanan.
  4. Power over institutions. Kekuasaan atas lembaga-lembaga, kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi lembaga-lembaga masyarakat seperti; lembaga pendidikan, kesehatan, keuangan serta lembaga-lembaga pemenuh kebutuhan hidup lainnya.
  5. Power over resources. Kekuasaan atas sumber daya, kemampuan memobilisasi sumber daya formal dan informal serta kemasyarakatan dalam memenuhi kebutuhan hidup.
  6. Power over economic activity. Kekuasaan atas aktivitas ekonomi kemampuan memamfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi serta pertukaran barang dan jasa.
  7. Power over reproduction. Kekuasaan atas reproduksi, kemampuan dalam kaitannya dengan proses reproduksi dalam arti luas seperti pendidikan, sosialisasi, nilai dan prilaku bahkan kelahiran dan perawatan anak.

Pemberdayaan dapat diartikan sebagai tujuan dan proses. Sebagai tujuan, pemberdayaan adalah suatu keadaan yang ingin dicapai, yakni masyarakat yang memiliki kekuatan atau kekuasaan dan keberdayaan yang mengarah pada kemandirian sesuai dengan tipe-tipe kekuasaan yang disebutkan sebelumnya. Menurut Edi Suharto (1985:205) Pemberdayaan sebagai proses memiliki lima dimensi yaitu:

  1. Enabling; adalah menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat struktural dan kultural yang menghambat.
  2. Empowering adalah penguatan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuhkembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian.
  3. Protecting yaitu melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok-kelompok kuat dan dominan, menghindari persaingan yang tidak seimbang, mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap yang lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan masyarakat kecil. Pemberdayaan harus melindungi kelompok lemah, minoritas dan masyarakat terasing.
  4. Supporting yaitu pemberian bimbingan dan dukungan kepada masyarakat lemah agar mampu menjalankan peran dan fungsi kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan.
  5. Fostering yaitu memelihara kondisi kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keseimbangan dan keselarasan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan usaha.

Edi Suharto (1998:220) menjelaskan pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu:

  1. Pendekatan mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap individu melalui bimbingan, konseling, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih individu dalam menjalankan tugas-tugas kesehariannya. Model ini sering disebut sebagai pendekatan yang berpusat pada tugas (task centered approach)
  2. Pendetakatan mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap kelompok masyarakat, pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan, pelatihan, dinamika kelompok biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan serta sikap-sikap kelompok agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapi.
  3. Pendekatan makro. Pendekatan ini sering disebut dengan strategi sistem pasar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, pengorganisasian dan pengembangan masyarakat adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini.

Berkaitan dengan tema pemberdayaan usaha kecil dalam program kemitraan. Beberapa tokoh dan lembaga memberikan penjelasan dan pengertian tentang kemitraan. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (1999:3) dalam program Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS), mengartikan kemitraan usaha adalah sebagai kerja sama antara perusahaan besar dengan pengusaha kecil, menengah dan koperasi disertai pembinaan dan pengembangan pengusaha kecil, menengah dan koperasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Sementara Yuyun Kartasasmita dalam Susanto (2000:15) menjelaskan kemitraan adalah merupakan hubungan kerja sama antara pengusaha kecil dengan pengusaha besar yang didasarkan adanya prinsip saling menguntungkan, dan juga dapat disertai adanya bantuan pembinaan berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia, pemasaran, teknik produksi, modal kerja, dan kredit bank. Pendapat serupa dikemukakan Kartasasmita (1996:189) bahwa kemitraan adalah hubungan kerja sama antar usaha yang sejajar dan dilandasi oleh prinsip saling menunjang dan saling menghidupi berdasarkan asas kekeluargaan dan kebersamaan. Jafar (2000:93) mendefinisikan kemitraan sebagai suatu strategis bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Jika ditinjau berdasarkan perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil mendefinisikan kemitraan usaha sebagai kerja sama usaha antara usaha kecil dengan menengah atau dengan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memperkuat, saling memerlukan dan saling menguntungkan.

Tujuan kemitraan usaha menurut Jafar ( 2000; 63) yaitu :

  1. Meningkatkan pendapatan usaha kecil dan masyarakat.
  2. Meningkatkan perolehan nilai tambah tinggi bagi pelaku kemitraan.
  3. Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil.
  4. Meningkatkan pertambahan ekonomi desa.
  5. Memperluas kesempatan kerja.
  6. Meningkatkan ketahanan nasional.

Manfaat kemitraan usaha menurut Muhammad Jafar (2000:54-61), yaitu :

  1. Produktifitas. Dengan adanya kemitraan usaha diharapkan adanya peningkatan produktifitas dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang bermitra.
  2. Efisiensi. Penerapannya kemitraan bagi pengusaha besar dapat menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh usaha kecil. Sebaiknya usaha kecil yang umumnya relatif lemah dalam hal kemampuan teknologi dan sarana produksi dengan bermitra akan menghemat waktu produksi melalui teknologi dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar.
  3. Jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas pada kegiatan kemitraan. Proses produksi biasanya tidak dikuasai oleh satu pihak saja, maka pihak-pihak yang  terlibat perlu menerapkan suatu standar mutu yang disepakati sehingga pada akhir produksi dapat diperoleh jaminan mutu yang berkesinambungan.
  4. Resiko. Setiap kegiatan bisnis/usaha selalu memiliki resiko, bahkan satu norma yang dianut oleh dunia usaha bahwa keuntungan/kesuksesan yang besar biasanya mengandung konsekwensi resiko yang besar pula. Dengan kemitraan diharapkan resiko yang besar dapat ditanggung bersama. Tentunya pihak-pihak yang bermitra akan menanggung resiko yang proposional sesuai dengan besarnya modal dan keuntungn yang diperoleh.
  5. Sosial. Kemitraan usaha bukan hanya memberikan dampak positif secara ekonomi. Di samping itu, kemitraan dapat memberikan dampak sosial yang tinggi, dengan mengantisipasi kecemburuan sosial yang bisa menjadi gejolak sosial akibat ketimpangan.

Menurut Elyas dalam Susanto (1997:4) pola kemitraan terdiri dari beberapa kategori yaitu :

  1. Pola Sub Kontrak yaitu usaha kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh usaha besar sebagai bagian dari cara produksinya.
  2. Pola Waralaba yaitu pemberi waralaba memberikan hak penguasaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada usaha kecil penerima waralaba dengan disertai bimbingan manajemen.
  3. Pola Keagenan (agen) yaitu usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa usaha besar.
  4. Pola Dagang Umum yaitu usaha besar menawarkan hasil produksi usaha kecil, atau usaha kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh usaha besar.
  5. Pola Inti Plasma yaitu hubungan kemitraan antara usaha kecil sebagai plasma dengan usaha besar sebagai inti. Perusahaan melakukan pembinaan yang terdiri dari sarana produksi, bimbingan teknis, promosi, pemasaran.

Terdapat tahapan kegiatan yang dilakukan untuk menyiapkan pelaku-pelaku usaha agar siap bermitra antara lain, yaitu (Susanto, 1997:4):

  1. Identifikasi dan pendekatan kepada pelaku usaha, baik pelaku usaha kecil, menengah, maupun usaha besar. Dalam tahapan identifikasi ini dikumpulkan data dan informasi yang berkaitan dengan jenis usaha dan komoditas, potensi sumber daya, kemampuan pelaku usaha dalam berbagai bidang seperti penguasaan IPTEK, permodalan, sumber daya manusia, maupun sarana-sarana lainnya. Dalam tahap ini diharapkan masing-masing pelaku usaha dapat saling mengenal satu sama lain, sehingga dapat teridentifikasi pelaku usaha mana yang paling potensial untuk dijadikan mitra usaha.
  2. Membentuk wadah organisasi ekonomi untuk memudahkan pengorganisasian, komunikasi, koordinasi antara pengusaha menengah/besar dengan pengusaha kecil yang belum berbadan hukum dalam jumlah yang banyak. Pengelompokan/pengorganiasian ini dimaksudkan agar terbentuk skala ekonomi tertentu yang mempunyai aspek legalitas (berbadan hukum) seperti misalnya koperasi, PD, CV ataupun PT.
  3. Menganalisis kebutuhan pelaku usaha. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui lebih mendalam mengenai peluang-peluang usaha dan permasalahan-permasalahan mendasar dalam pengembangan usaha yang dihadapi pelaku-pelaku usaha baik pelaku usaha kecil, menengah, maupun koperasi.
  4. Merumuskan program. Setelah permasalahan dan peluang-peluang usaha dianalisa, maka dapat disusun program yang dapat diaplikasikan dalam bentuk kegiatan seperti pelatihan, magang, studi banding, pemberian konsultasi serta peningkatan koordinasi.
  5. Kesiapan bermitra. Adanya kemitraan harus disadari kedua belah pihak bahwa bermitra merupakan hubungan kerja dan peluang, dan juga menjadi ajang untuk belajar dan mengembangkan diri serta menimba kekuatan/kelebihan-kelebihan yang dimiliki mitra usahanya. Selain itu pelaku-pelaku usaha yang akan bermitra perlu memahami adanya keseimbangan yang jelas antara kontribusi, proses partisipasi yang melibatkan semua pihak serta pembagian hasil yang sepadan sesuai dengan kontribusi.
  6. Temu usaha. Kegiatan ini mempunyai tujuan untuk mempertemukan pelaku-pelaku usaha yang telah siap bermitra. Pada pertemuan ini kedua belah pihak mulai saling mengetahui kebutuhan-kebutuhan yang akan diperlukan, pokok-pokok permasalahan yang dihadapi dan harapan-harapan dari pihak-pihak yang akan terlibat. Target dari pertemuan  adalah kontrak kerja sama antara pelaku-pelaku usaha yang akan bermitra.

Berkembangnya suatu kemitraan tidak terlepas dari adanya dukungan iklim yang kondusif untuk berkembangnya investasi dan usaha daerah. Dukungan fasilitas, kemudahan perizinan, perangkat kebijakan perkreditan, tingkat suku bunga, peraturan daerah, dan iklim kondusif lainnya sangat membantu proses kemitraan. Dalam perwujudan hal tersebut sangat diperlukan adanya koordinasi dan persamaan persepsi antar lembaga terkait mulai dari tingkat pusat (nasional) sampai tingkat daerah.

Beradasarkan Keputusan Direksi PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Nomor: KD 51/KU200/PUK-00/2003 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) bahwa pemberdayaan usaha kecil diimplememtasikan berbadasarakan 3 (tiga) indikator utama yaitu peningkatan asset (modal), penjualan (omset), serta meningkatnya jumlah tenaga kerja dari mitra binaan. Guna mengkaji ukuran-ukuran pemberdayaan usaha kecil, Suharto mengemukakan bahwa pemberadayaan usaha kecil harus dilihat dari akar permasalahan yang dihadapai usaha kecil yang terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Dengan begitu, suatu usaha pemberadayaan khsusunya dalam program kemitraaan harus mengacu pada permasalahan yang dihadapi usaha kecil. Berkaitan dengan pemberdayaan usaha kecil pada aspek eksternal yang berhubungan dengan kemampuan (kapabilitas) usaha kecil diukur melalui seberap jauh usaha kecil dapat bertahan dalam persaingan usaha dan iklim usaha, mampu tetap mengakses berbagai sumber daya seperti informasi, teknologi, pasar dan akses pada permodalan.

Di aspek lain, Erwan (74:2004) mengemukakan tentang aspek internal dari pemberdayaan usaha kecil yang terdiri dari kuantitas dan kualitas sumber daya yang dimiliki usaha kecil serta  kompetensi usaha. Sedangkan menurut Erwan (80:2004) bahwa tujuan pemberadayaan usaha kecil adalah membentuk usaha kecil yang mandiri sehingga dapat berkembang menjadi usaha menengah. Kemandirin usaha ini diukur dari tingkat ketergantungan usaha kecil terhadap faktor-faktor luar yang mempengaruhi usaha kecil seperti mitra usaha, supplier, pemebri modal dan sebagainya.